Berdampingan tapi
nggak sejalur. Nggak apa. Banyak yang sudah sejalur tapi tidak saling bergandengan.
Bersama nggak harus sama seirama.
Karena berbeda itu
warna, warna itu indah.
Indah membawa keabadian, keabadian itu kita.
Iya, keabadian yang
dikelilingi cerita, bahagia.
Dalam putaran waktu yang fana.
Dalam putaran waktu
yang sering tidak memihak.
Dia hanya ingin cepat berhenti, tak mungkin selamanya
berputar.
Cepat berhenti dan
menghapus bersih semua yang tak terangkul.
Meninggalkan yang lalu, hanya tersisa bayangan dan tentu
saja serpihan kenangan.
Meninggalkan tapi
diam-diam masih saling bersalam doa dan menyimpan beberapa yang tersisa.
Karena kadang mereka yang diam-diam menyimpan lebih besar
perasaan.
Dan memiliki rasa yang
lebih tulus karena hanya dalam diam, seolah tak ingin berbicara.
Iya, tak ingin orang lain tau tentang rasanya. Hanya Tuhan
dan dia.
Hanya mampu
membisikkan rasanya lewat hujan dan menitipkan di ujung senyum.
Menutup rapat rahasianya, serapat hatinya untuk orang lain.
Tidak membiarkan tamu
lain singgah apalagi menetap.
Karena dia mungkin siap sakit karena telah mencintai, cinta
sejati.
Karena memang awalnya
jatuh tanpa mengenal ragu apalagi takut, sakit.
Karena jatuh itu syarat untuk mengenalnya, mengenal sakit.
Iya, itu yang namanya
jatuh cinta seperti hujan, jatuh tanpa ragu dan tanpa takut sakit.
Apa yang bisa kalian simpulkan dari kumpulan kalimat ini?
Awalnya membicarakan perbedaan yang hendak menyatu, tapi di akhir membicarakan
rasa yang tak tersampaikan, diam-diam.
Kumpulan kalimat ini bukan dalam satu satuan sajak dan bukan dibuat oleh satu orang saja. Sebenarnya,
ini semua adalah balas-balasan sajak bersama temanku di Twitter. Baris pertama
adalah penggalan sajakku, baris kedua itu punya temanku dan begitu terus secara
bergantian.
Aku hanya ingin mengenang sedikit beberapa penggalan sajak
yang secara tidak sengaja bertemu dan akhirnya menjadi satu seperti ini.