Jika pada akhir waktu, rasa hati tidak aku ungkapkan, aku akan tetap berusaha membuatnya hidup dalam tulisan-tulisanku.

Saturday, September 28, 2013

September Pencipta Kenangan

Selamat malam, September.

Sebelum kata-kataku bermain bebas, izinkan aku untuk berterima kasih kepadamu untuk setiap hari, jam, menit  dan detik yang terasa begitu singkat.




Beberapa minggu yang lalu...

September, kamu datang berduru-duru dengan banyak gumpalan cerita yang harus aku uraikan satu-persatu. Hingga aku hampir lelah. Menguraikannya, memaknainya dan menyatukannya lagi agar menjadikan sebuah arti.

September, kamu juga memberiku banyak kejutan-kejutan manis hingga pahit sekalipun.

September, kamu berhasil mengajakku berkeliling di setiap sudut hatiku.
Meyakinkanku bahwa ada seseorang yang menempati di sudut spesial. Sosoknya jelas, namun terkadang membuatku ingin mundur. Kamu berhasil membuatku bingung, September.



Di akhir-akhir kamu bersamaku, kamu memang seperti musuh.

Membiarkanku ditemani oleh beberapa sakit yang begitu halus.

Katakan bahwa Oktober tidak akan membiarkanku seperti itu.

Cukup, September.



Terima kasih untuk hari-hari yang berselimut tawa, senyum dan air mata.

Terima kasih untuk hal-hal mistis yang membuatku cukup gelisah.

Terima kasih sudah menemaniku untuk membuat banyak surat yang hanya mampu aku tulis dengan sepuluh jari tangan, sepasang mata dan satu hati ini.

Menemaniku untuk membisikkan rasa secara perlahan.

Aku bahagia masih bisa berada di pelukanmu di tahun ini.



Longgarkan pelukanmu, aku akan melanjutkannya bersama bulan setelah kamu.

Tiga puluh hari. Hampir.

Tugasmu akan selesai, September.

Selamat bertemu lagi tahun depan, dimana nanti kamu mungkin menemukanku dengan berbagai hal yang baru, menemukanku memikul kenangan. Lagi.

Aku rasa September selalu menciptakan kenangan sejak dulu.

September pencipta kenangan, terima kasih.

Saturday, September 21, 2013

Surat untuk Mereka yang Terbaik

Selamat malam, bintang.
Masih belum lelah juga menyinari malam?
Masih belum bosan juga menemani bulan?
Aku tau malam ini kamu sedang berbaik hati untuk berada di langit, melihatku dari atas sana dan menyandarkan cahayamu di atap kamarku, menemaniku untuk menulis cerita dan surat untuk teman-teman yang berbaik hati dan bersinar lucu sepertimu.

Awalnya, aku memang berdiri tegak di bawah langit kota yang istimewa ini, namun aku menyembunyikan banyak sakit yang tidak aku sadari.

Beberapa mereka yang menemaniku hanya bisa sementara saja menggandengku, beberapa menjauh secara perlahan bahkan mengecewakan. Sakit, tapi aku menerimanya.

Karena semakin lama, aku menyadari arah jalan aku dan mereka berbeda, aku tidak ingin keluar sedikitpun dari garis yang sudah Allah lukis, aku berusaha untuk selalu mengikutinya. Setidaknya itu niat awalku.

Semua hari begitu sama, tidak memiliki beda dan tidak memberi makna.

Yang terlihat jelas hanya masalah, masalah dan masalah. Hidup memang bersama masalah tapi bukan selalu bersama masalah, bukan?

Tidak ada ibadah yang aku lakukan lebih, tidak ada banyak sujud syukur yang aku lakukan di setiap harinya.

Aku menginginkan perubahan yang baik di kota yang istimewa ini. Bukan sia-sia.

Waktu mungkin telah membenciku karena telah membiarkannya lepas sia-sia, melayang tanpa makna.

Akhirnya, ternyata waktu hanya kesal, karena waktu masih berikhlas dan tulus menyeretku secara perlahan, mengajakku keluar dari semua sepi dan kecewa yang tidak aku sadari, lagi-lagi.

Mereka yang baru, teman-teman terbaik memberikan tali berupa kasih sayang dan kesempatan untukku, membantuku keluar dari lubang yang mulai aku benci, mereka bekerja sama dengan waktu.

Perlahan dan bertahap...

Akhirnya, aku keluar dan melepaskan mereka yang lama, yang benar-benar berbeda dan mengecewakan.




Lebih jelasnya,
Terima kasih, teman-teman.
Sudah bekerja sama menyadarkanku untuk menyayangi orang lebih banyak, memberikan banyak pelukan untuk orang banyak, melakukan pekerjaan yang begitu mulia, mengajarkanku banyak hal sembari merangkulku erat dan yang terpenting mengingatkanku untuk beristiqomah di jalan Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Sejak mengenal kalian, aku merasa lebih aman dan nyaman.
Dengan kalian, kini aku lebih paham dalam menyesuaikan nafas dengan dzikir.
Meraih terus apa yang baik dan meninggalkan begitu saja apa yang buruk.

Berbicara dengan kalian membuatku hangat dengan kata-kata.
Tenggelam dalam diam membuatku tenang tanpa mengenal bosan.
Tertawa bersama kalian membuat aku merasa bahwa aku yang paling beruntung memiliki kalian.
Menangis di pundak kalian membuat air mataku pintar dalam menyusun senyum, menutupi lagi luka dan merapikan beberapa yang berantakan.

Entah harus berapa sujud dan syukur yang harus aku bayar untuk kalian teman-temanku, hamba Allah yang insya Allah selalu terjaga.

Maaf, jika aku masih saja selalu rewel dan menyebalkan.
Maaf, jika aku menyusahkan, membuat bingung dan begitu manja.
Aku hanya ingin terus dalam pelukan kalian.

Aku menyayangi dan mencintai kalian karena Allah.

Bersama kalian, waktu tidak lagi pernah marah kepadaku.
Bersama kalian, aku insya Allah terus berusaha melakukan semua kewajibanku.
Bersama kalian, membuatku selalu bisa memperjuangkan senyum semua orang.
Bersama kalian, aku benar-benar tau apa arti dari kata ‘Istimewa” dari Kota Yogyakarta.

Terima kasih, ya Allah...
Akhirnya Engkau memerintahkan waktu untuk memperkenalkan mereka kepadaku.

Terima kasih, waktu...
Akhirnya, kau mengajakku untuk berdamai dan menemaniku lagi.

Terima kasih, kalian...
Teman-teman terbaik, untuk semua tatapan, sentuhan, kata, senyum dan peluk yang hangat dan penuh dengan sayang.

Aku ingin selalu beribadah, belajar dan terlelap dalam pelukan kalian.

Jika nanti waktu memberi sedikit jarak, tolong izinkan aku memeluk kalian dengan kenangan dan doa.

Jangan lupakan aku, teman-teman terbaikku...


-Hany Nurulhadi, seseorang yang merasa beruntung memiliki kalian.


Sampai di sini dulu cerita dan suratku.
Ada tugas untukmu, bintang. Tolong sampaikan ini untuk mereka yang terbaik.
Terima kasih untuk cahaya malam ini.
 Selamat terjaga dalam malam, bintang.

Friday, September 20, 2013

Surat yang Kedelapan

Surat ini aku persembahkan untuk embun-embun yang bermain denganku dalam pagi.
Embun, baca surat ini bersamanya ya :)




Embun, aku ingin memperkenalkan seseorang.
Perkenalkan, dia adalah sosok spesial yang telah berlalu lalang di benak ini, di setiap fajar, senja dan malamku.
Dia yang selalu bersikap seolah-olah  semuanya baik-baik saja.
Dia yang tidak pernah menunjukkan keluh.
Dia yang begitu mudahnya membuat orang lain tersenyum.
Dia yang memiliki aroma begitu menyejukkan setiap malam, aroma tubuhnya yang bercampur dengan aroma angin malam dan cahaya bulan.

Terima kasih, embun...
Kamu begitu setia menemaniku untuk memperhatikannya di setiap pagi.
Kamu bersama embun-embun yang lain selalu berbisik merdu kepadaku, berbisik namanya secara perlahan dan bertahap, hari demi hari dan sekarang begitu sempurna.
Kamu nakal embun, kamu selalu mengajakku bermain setiap pagi, kamu tidak pernah membiarkanku istirahat untuk tidak bermain-main menyebutkan namanya di dalam hati.
Embun, aku selalu rindu dengan kamu dan teman-temanmu yang lain.
Aku tidak pernah bosan untuk bermain denganmu, apalagi lelah. Tentu tidak dan jangan sampai.

Embun, aku mencintainya dengan hati sebagai seluruh indraku.
Aku melihatnya, pada setiap inci tubuhnya dengan hatiku.
Aku mendengar suara yang keluar dari pita suaranya dengan hatiku, ciptaan-Nya yang sempurna.
Aku meraba hatinya dengan hatiku.
Aku mencium aroma unik tubuhnya dengan hatiku.
Aku merasakan semua tatapan, kata dan sentuhannya dengan hatiku.

Embun, tolong jangan pernah katakan kepadaku bahwa dia akan menjadi embun yang lain.
Mengajak rasaku untuk bermain sesaat di setiap pagi dan akan meninggalkanku, menghilang dan menggantikannya dengan embun-embun yang lain, yang tidak aku kenal.

Embun, aku mencintainya.
Tolong embun, jika nanti aku tidak lagi bisa diajak untuk bermain.
Tolong temani  dia yang sangat spesial, temani pagi dan malamnya.
Tolong jaga raganya, tolong bisikkan jiwanya untuk selalu mengingat sehat dan senyum.
Tolong embun, ajaklah aku bermain sampai aku tidak lagi bisa merasakan apa-apa, ajaklah aku beristirahat ketika aku akan lelah, jangan biarkan aku benar-benar merasa lelah.


Terima kasih, kamu. Karena kamu, aku ingin memusuhi lelah. Aku tidak ingin berteman atau mengenalnya lagi sekalipun.

Bercerita tentang embun dan bermain dengannya. Aku bahagia...

Wednesday, September 18, 2013

Menyatu dengan Milana

Meresensi Milana untuk tugas sekolah. Semoga bermanfaat :)

Menyatu



Judul buku  : Milana, Perempuan yang Menunggu Senja
Penulis        : Bernard Batubara
Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : 1
Tahun terbit: 2013 (April)
Jumlah hlm : 192
Ukuran       : 13 x 20 cm

Kumpulan cerpen Milana ini dipersembahkan oleh Bernard Batubara atau yang lebih akrab dipanggil Bara. Setelah berhasil memikat para pembaca dengan buku ketiganya Kata Hati yang membawa suasana Jogja di dalamnya, pemilik akun @benzbara_ di twitter ini akhirnya membuat buku kumpulan cerpen atau buku keempatnya. Sejak awal mengenal  Mas Bara di media sosial Twitter, saya sudah jatuh rasa dengan tulisan-tulisannya. Mas Bara seperti memiliki magnet kata, sastra dan rasa. Mungkin, semua pembacanya mampu terlarut dengan setiap ceritanya. Seperti biasa, dalam Milana kali ini Mas Bara pandai dalam membongkar pasang kata sehingga berubah menjadi barisan-barisan tulisan yang sejuk.


"Menunggu adalah perkara melebarkan kesabaran dan berhadap-hadapan dengan resiko ketidakhadiran."

"Mendedikasikan setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Untuk mendengar sebuah "Halo, ini aku, sudah pulang."

-Milana, hlm 175

Terdapat lima belas cerita pendek dalam bukunya kali ini yang ditulis sejak 2010 – 2013. Milana sendiri adalah salah satu judul dari cerpen di dalam buku ini, Mas Bara pun tidak mengerti mengapa harus Milana yang menjadi judul untuk buku ini. Dengan tema yang berbeda, membuat kita berhasil menyapa imajinasi dan mengaduk-aduk rasa. Tema yang ada bukan hanya cinta, tapi terdapat juga tentang keluarga dan kehidupan yang banyak menunjukkan perasaan sepi dan kehilangan. Milana sendiri menceritakan tentang penantian dan pertemuan. Ada juga beberapa cerpen yang mengandung unsur mistis dan sangat apik sekali dikemas. Seperti cerpen Tikungan, Jung dan Cermin yang berhasil membuat saya penasaran dengan akhir ceritanya. Dalam cerpen Beberapa Adegan yang Tersembunyi di Pagi Hari menggunakan gaya bahasa yang membuat angin, pagi, matahari, bulan, embun dan tepian daun seperti benar-benar hidup, memiliki perasaan yang seolah-olah seperti manusia. Ini salah satu favorit saya. Kebanyakan cerpen memang menunjukkan kesedihan dan kekecewaan, namun terkadang beberapa karakter akhirnya mendapatkan bahagia di akhir cerita.
Mas Bara juga berhasil membuat imajinasi saya bermain setiap membaca tulisannya. Entah mengapa, sering kali membuat saya seolah-olah benar-benar bisa merasakan perasaan yang diceritakan. Pemilihan diksi yang tepat juga salah satu yang menjadi alasan mengapa saya menyukai tulisan Mas Bara. Di setiap cerita tentang cinta, selalu saja romantis, manis, puitis namun tidak hiperbolis. Ilustrasi sihluette yang mendukung di setiap awal cerpen dan penuh teka-teki juga salah satu kecantikan buku ini. Memang terkadang terdapat narator yang berbeda-beda dalam satu cerita yang tidak begitu menunjukkan kekhasan masing-masing.
Bagaimanapun itu, pencinta sastra yang suka bermain-main dengan imajinasinya disarankan untuk membaca buku ini. Buku yang sangat direkomendasikan. Sebagai kumpulan cerpen tunggal pertamanya, Milana dan Mas Bara berhasil membuat pembaca merasa menjadi satu dengan cerita. Selalu ada penantian untuk buku-bukunya.




"Dan seseorang yang sedang jatuh cinta adalah peneliti yang mahir, bukan?"

Sunday, September 15, 2013

Surat yang Ketujuh

Senyum dan Doa



Untuk mengawali surat ini,
Selamat pagi, kota yang istimewa dan orang yang spesial :)
Terima kasih sudah singgah sejenak di mimpiku malam tadi.

Bercerita sedikit tentang masa lalu.

Perkenalan dan pandangan pertama tentangmu semula biasa saja.

Tidak ada kata “Jatuh pada pandangan pertama”. Aku tidak mengenalnya

Mungkin, alam memang tidak pernah bersuara untuk memberi tanda bahwa waktu akan dengan mudahnya merangkul aku denganmu dalam suatu suasana, hingga secara tidak sengaja aku tak mampu lagi menahan rasa ini untuk tumbuh.


Aku bukan seseorang yang mudah untuk jatuh.

Aku memiliki tongkat yang cukup kuat untuk tidak jatuh di tempat yang salah.

Namun, bersamamu, tongkatku patah secara perlahan.

Jatuh ke arahmu adalah sesuatu yang menakutkan, awalnya.

Jatuh ke arahmu adalah sesuatu yang selalu aku tidak-kan, awalnya.


Kamu,
Entah bagaimana caranya Allah merubah namamu di hatiku.

Kamu hanya seseorang yang biasa waktu aku mengenalmu pertama kalinya.

Namun,

Secara perlahan,

Kamu mampu membuat hatiku membisikkan namamu dan 
menempatkanmu di semua sisi yang sudah rapi.

Kamu mampu menyita malamku dan membuatku menyelipkan namamu di setiap sujudku setiap harinya.


Mereka bilang, rasa ini hanya aku gantungkan pada harapan yang semu.
Bagiku, sesemu apapun itu yang utama adalah membuat kamu terjaga dalam senyum dan doa.

Ikhlas,

Bukan pelukan ataupun balasan rasa yang terpenting.


Rasa ini tidak ingin sepenuhnya diekori oleh semua egoku,

Tidak ingin menjadi tamak, memilikimu seutuhnya.

Tidak ingin menjadi suatu ambisi, menuntut balas.


Insya Allah, tidak pernah mengeluh.

Insya Allah, ketulusan yang mengawali rasa ini akan terus menuntun rasa ini untuk tidak pernah menuntut lebih.

Allah selalu berhak memberikan balasan setiap perlakuan dan jawaban setiap pertanyaan.

Disini, aku hanya memelukmu hangat dengan doa dan senyumku.

Berjalanlah terus, doaku tepat berada dibelakangmu.

Senyum, ya :)


Tuesday, September 10, 2013

Baca dengan titik

Mencintai begitu saja.

Surat yang Keenam

Cinta yang mungkin tak akan kumiliki.


Hai, kembali lagi bersama surat-suratku.

Masih terasa lelah karena kepergian sesaat ini. Beberapa hari lalu aku melakukan perjalanan ke timur Pulau Jawa. Gunung Bromo, menaiki 240 anak tangga sembari mengeja namamu, bersama doa, berharap kamu selalu baik-baik saja. Maaf, aku terlalu sering mengucapkan namamu.

Di perjalanan ke Bromo, aku sempat melihat ke arah jendela ketika matahari akan pulang ke singgasananya. Aku melihat bayanganku hampir jelas di jendela itu, seorang teman berkata “Itu yang dinamakan ‘berkaca pada matahari’.” Aku hanya diam dan tersenyum.

Lucu ya...

Berkaca pada matahari.

Ketika aku berkaca bukan bercermin, tapi aku melihat sebagian bayanganku yang hampir sempurna.

Aku sedang tidak ingin berbicara soal rasa saja.
Coba bersama cinta...

Baca baik-baik...

Jika cintamu adalah bayanganku dan matahari adalah rasa yang aku simpan ini.

Seperti berkaca pada matahari, cinta yang bersemayam di hatimu hanya bisa aku lihat, itu saja tidak terbentuk sempurna. Apalagi untuk menyentuh dan memiliki semua cintamu. Untung saja rasa ini masih mampu meyakinkanku untuk terus berkaca, hingga nantinya bayangan menjadi jelas atau tidak terbentuk bayangan sama sekali, cintamu tidak akan kumiliki sama sekali.


Matahari akan terus ada untuk mengajakku berkaca padanya. Sama seperti rasa ini yang akan terus aku simpan dan aku jaga untuk menanti cintamu, walaupun mungkin tak akan kumiliki.



Saat ini senyum lah, sudah cukup untukku :)

Bersama Sebuah Foto-1


Berusaha untuk tidak menumbuhkan cabang di hati ini. Karena memang cukup dan hanya sosok kamu yang aku persilahkan untuk masuk. Menempatkan kamu bersama doa. Semoga nyaman, jangan lupa senyum ya :)

Terima Kasih Bromo

Suatu Surat Terima Kasih untuk Alam-Mu

Berangkat meninggalkan Kota Istimewa-ku menuju salah satu surga di dunia fana ini, di tempat yang tinggi, di timur pulau Jawa, di bumi ibu pertiwi, Indonesia-ku.

Terlelap dan terjaga bersama mereka, teman-teman yang tidak pernah lelah memberi tawa dan senyum.



Bersama mereka dengan satu tujuan, menyambut surya yang datang di ufuk timur, di atas...

Gunung Bromo

Belasan jam dengan berbagai cerita, akhirnya aku mengambil nafasku, menjaga mata, ucapan dan pikiranku, menginjakkan kakiku di salah satu bukti indah atas kebesaran-Nya.



Belum terlambat untuk melihat lukisan langit fajar di pelukan Bromo.
Bersama kalian, senyum teman-temanku.



Langit keemasan yang selalu terlihat sempurna.

Terima kasih ya Allah untuk setiap inci yang Kau ciptakan di bumi Bromo ini.
Ini adalah kali pertamanya aku berdiri sempurna di dataran tinggi yang menjulang kokoh.

Bermain dengan 240 anak tangga, tidak lupa untuk menyelipkan doa dan mengeja namanya, seseorang yang spesial, seseorang yang aku harapkan berada di sini bersamaku. Berdoa untuknya dan kita.



\


Akhirnya aku di atas gunung, berada di tempat yang tinggi, mendekati langit, bersahabat dengan awan dan bernafas dzikir bersama dingin, menusuk perlahan tulang rusuk.

Subhaallah Walhamdulillah Walaa Ilaha Illallah Wallahu Akbar





Untuk siapa saja Kau ciptakan semua ini?

Untuk kami, untuk kami menjaganya, menengoknya beberapa waktu, menghirup udaranya dan tersenyum syukur di hadapannya.

Bromo, aku berjanji untuk kembali lagi bersama teman-teman terbaik lainnya atau bersama dia yang spesial.



Aku berjanji untuk menengok alam indah lainnya di dataran tinggi lainnya untuk terus bersyukur karena adanya alam-Mu.


Terima kasih...



Monday, September 9, 2013

Bagian dari Suratku.

Bukan aku yang terlalu baik, tapi kamu yang mampu membuatku selalu berusaha menjadi lebih baik.

Insya Allah.