Cinta yang mungkin
tak akan kumiliki.
Hai, kembali lagi bersama surat-suratku.
Masih terasa lelah karena kepergian sesaat ini. Beberapa hari lalu
aku melakukan perjalanan ke timur Pulau Jawa. Gunung Bromo, menaiki 240 anak
tangga sembari mengeja namamu, bersama doa, berharap kamu selalu baik-baik saja.
Maaf, aku terlalu sering mengucapkan namamu.
Di perjalanan ke Bromo, aku sempat melihat ke arah jendela ketika
matahari akan pulang ke singgasananya. Aku melihat bayanganku hampir jelas di
jendela itu, seorang teman berkata “Itu yang dinamakan ‘berkaca pada matahari’.”
Aku hanya diam dan tersenyum.
Lucu ya...
Berkaca pada matahari.
Ketika aku berkaca bukan bercermin, tapi aku melihat sebagian
bayanganku yang hampir sempurna.
Aku sedang tidak ingin berbicara soal rasa saja.
Coba bersama cinta...
Baca baik-baik...
Jika cintamu adalah bayanganku dan matahari adalah rasa yang aku
simpan ini.
Seperti berkaca pada matahari, cinta yang bersemayam di hatimu
hanya bisa aku lihat, itu saja tidak terbentuk sempurna. Apalagi untuk
menyentuh dan memiliki semua cintamu. Untung saja rasa ini masih mampu
meyakinkanku untuk terus berkaca, hingga nantinya bayangan menjadi jelas atau
tidak terbentuk bayangan sama sekali, cintamu tidak akan kumiliki sama sekali.
Matahari akan terus ada untuk mengajakku berkaca padanya. Sama seperti
rasa ini yang akan terus aku simpan dan aku jaga untuk menanti cintamu,
walaupun mungkin tak akan kumiliki.
Saat ini senyum lah, sudah cukup untukku :)
No comments:
Post a Comment