Jika pada akhir waktu, rasa hati tidak aku ungkapkan, aku akan tetap berusaha membuatnya hidup dalam tulisan-tulisanku.

Wednesday, May 15, 2013

Ketika Diam Memiliki Arti


Berdampingan tapi nggak sejalur. Nggak apa. Banyak yang sudah sejalur tapi tidak saling bergandengan.
Bersama nggak harus sama seirama.
Karena berbeda itu warna, warna itu indah.
Indah membawa keabadian, keabadian itu kita.
Iya, keabadian yang dikelilingi cerita, bahagia.
Dalam putaran waktu yang fana.
Dalam putaran waktu yang sering tidak memihak.
Dia hanya ingin cepat berhenti, tak mungkin selamanya berputar.
Cepat berhenti dan menghapus bersih semua yang tak terangkul.
Meninggalkan yang lalu, hanya tersisa bayangan dan tentu saja serpihan kenangan.
Meninggalkan tapi diam-diam masih saling bersalam doa dan menyimpan beberapa yang tersisa.
Karena kadang mereka yang diam-diam menyimpan lebih besar perasaan.
Dan memiliki rasa yang lebih tulus karena hanya dalam diam, seolah tak ingin berbicara.
Iya, tak ingin orang lain tau tentang rasanya. Hanya Tuhan dan dia.
Hanya mampu membisikkan rasanya lewat hujan dan menitipkan di ujung senyum.
Menutup rapat rahasianya, serapat hatinya untuk orang lain.
Tidak membiarkan tamu lain singgah apalagi menetap.
Karena dia mungkin siap sakit karena telah mencintai, cinta sejati.
Karena memang awalnya jatuh tanpa mengenal ragu apalagi takut, sakit.
Karena jatuh itu syarat untuk mengenalnya, mengenal sakit.
Iya, itu yang namanya jatuh cinta seperti hujan, jatuh tanpa ragu dan tanpa takut sakit.

Apa yang bisa kalian simpulkan dari kumpulan kalimat ini? Awalnya membicarakan perbedaan yang hendak menyatu, tapi di akhir membicarakan rasa yang tak tersampaikan, diam-diam.
Kumpulan kalimat ini bukan dalam satu satuan sajak dan bukan dibuat oleh satu orang saja. Sebenarnya, ini semua adalah balas-balasan sajak bersama temanku di Twitter. Baris pertama adalah penggalan sajakku, baris kedua itu punya temanku dan begitu terus secara bergantian.
Aku hanya ingin mengenang sedikit beberapa penggalan sajak yang secara tidak sengaja bertemu dan akhirnya menjadi satu seperti ini.

Sunday, May 5, 2013

Jog-Jakarta (1)


Lampu cinta yang pernah atau mungkin masih menyala.


Awalnya semua terasa seperti lubang kecil yang kosong, aku di dalamnya tidak bisa berbuat apa-apa, pandanganku terbatas, temanku hanya beberapa dan aku masih saja sama, aku masih membawa kenangan-kenanganku di tempat lama. Aku telah memiliki sahabat yang terlalu baik disini, aku menikmati persahabatan kami dan mereka sudah melakukan yang terbaik, mereka menemaniku. Namun terkadang waktu lagi-lagi membuatku resah, aku selalu memiliki rasa untuk pulang. Menemui mereka yang sudah banyak memberi cerita, mereka yang teramat istimewa di mataku dan mereka yang selalu menjadi magnetku untuk pulang. Mungkin benar, aku masih bisa membela rindu walaupun jarak ini membentang. Aku selalu berusaha menemui mereka sesering mungkin. Bagaimana kegiatan baruku? Hidupku terlalu datar, aku melakukan kegiatan yang sama setiap hari, temanku tidak bertambah dan aku terlalu bosan dengan semua. Aku menyesal meninggalkan tempat lamaku. 

Banyak hubungan baik yang lama-lama merenggang karena… Apalagi kalau bukan jarak. Aku sempat kehilangan seseorang yang awalnya selalu ada di dekatku. Ternyata, kami tidak terlalu kuat untuk bisa berhadapan dengan jarak. Terlalu banyak batas-batas yang berserakan, rindu yang terseok-seok, seharusnya aku dan dia mampu menatanya, seharusnya. Semua yang pernah ada tiba-tiba harus tersimpan begitu saja rapat-rapat. Setiap harinya aku hanya menunggu kapan sang waktu berpihak kepada kita, memberikan kita sebuah pertemuan dan pelukan. Aku hanya rindu, rindu menatap mata dan senyumya. Banyak malam yang kita habiskan hanya untuk saling mendengar suara, berbagi tawa tanpa saling menatap. Terkadang, aku ingin dia ada mengusap air mataku setiap malamnya di setiap rindu ini menemaniku. 

Kami hanya butuh sebuah waktu, dimana aku dan dia berada dalam dekat, dalam jarak dan hati.

Menunggu bukan perkara yang mudah untuk kami yang masih terlalu muda dan terlalu sok berani menantang jarak.

Aku pernah belajar mencintai jarak ini, hingga pada akhirnya aku tetap kalah. Dia juga kalah.

Banyak rasa dan kisah yang akhirnya hanya akan dikenang.

Aku harus belajar lagi, belajar untuk menerima, bukan menerimanya tapi melepaskannya. 

Kami memang lemah tapi aku masih percaya, rasa yang telah kami tanam, yang sekarang tumbuh itu masih belum tumbang. Kami hanya seolah-olah meninggalkannya, sementara. 

Hidupku masih berjalan. Aku dan kota yang istimewa ini. 

Meninggalkan untuk menanti suatu saat nanti?

Hanya Cerita yang Terlewatkan


Untuk dia yang aku persilahkan,
Awalnya aku hanya menemukan suatu tempat dimana aku merasa nyaman dan tenang, kafe dimana aku bisa minum coklat dengan suasana yang belum pernah aku temukan. Hingga pada saatnya aku mengenalnya secara tidak sengaja, disana.

Aku  datang untuk sekedar minum coklat dan melepas lelah. Hingga pada saatnya, ternyata ada seseorang yang mengalihkan perhatianku, itu dia. Dia yang lucu dan berbeda. Aku melihat senyum dan tingkah lakunya dari pojok ruangan dimana aku duduk. Dia yang megambil perhatianku malam itu, hingga aku tidak sadar telah lama terpaku olehnya. Aku rasa dia sempat secara tidak sengaja menoleh ke belakang, ke arahku. Akhirnya aku pulang membawa bayang-bayang sosoknya dipikiranku.
Sesuatu yang berbeda padaku, disaat aku sedang diam dan secara tiba-tiba saja sosoknya hadir. Aku penasaran, aku mencari semua tentang dirinya dan akhirnya aku mengenalnya dan dia mengenalku.

Dia yang berbeda dan selalu istimewa mulai memerankan perannya di hatiku. Hati yang belum rapi sebelum akhirnya dia datang.

Hingga pada saatnya kita berdua, aku dan dia berada dalam satu suasana dimana kita saling berbagi cerita dan tawa. Di kafe itu, dimana aku mengenal dia pertama kali.

Sore hari, sejuk, dan rasaku. Aku kira detak jantung ini dalam keadaan tidak normal sejak dia mengucapkan “Hai” dan duduk didepanku. Awalnya aku terlalu naïf untuk mengeluarkan satu katapun, aku yang masih merasa sedang bermimpi, bermimpi dia didepanku. Ini nyata, dia dan aku berada pada satu meja, satu gelas coklat dan satu gelas jus.

Gerimis itu, akhirnya kita berbagi cerita dan tawa…
Kamu,
Cara kamu bercerita, berekspresi dan tertawa lepas. Aku suka semua itu dan ternyata kamu memang berbeda.
Cara kamu memainkan rambutmu, bicara dan duduk semau kamu. Kamu cuek dan kamu spesial.
Cara kamu menyapa orang lain, menjelaskan kehidupanmu dan memandang suatu hal. Kamu istimewa dengan caramu.
Aku hanya bisa tersenyum, menaruh tangan dibawah daguku, menatapmu fokus dan memperhatikan setiap kata-kata di ceritamu
Aku hanya bisa tertawa pasrah, menutup mulutku dan sekedar memuji lelucon spontanmu.
Aku hanya bisa terdiam dan terpaku pada setiap penjelasanmu mengenai suatu hal. Kamu yang memandang setiap hal secara cuek, logika dan santai.
Lagi-lagi kamu menarik perhatianku.
Awalnya aku hanya sekedar mengagumimu, sungguh. Tapi sepertinya Tuhan menyetujui kagumku ini. Dia mendekati kamu, ke arahku.
Awalnya aku memang tau kamu berbeda. Ternyata kamu itu berbeda karena kamu istimewa dan spesial di mataku. Mata hatiku…
Untuk kisah ini aku percaya pada pandangan pertama. Awalnya aku mengenalmu karena kelucuanmu, sekarang aku mengenalmu karena keistimewaanmu. Kamu berbeda dari yang lain, kamu yang dari awal membuatku penasaran.
Aku terlalu malu untuk sekedar bilang “Kamu spesial”. Aku juga terlalu sulit untuk menutupi senyumku ketika aku memperhatikanmu. Sesederhana ini aku menitipkan rasaku diujung senyumku itu.
Hingga aku sadar, ternyata kita disini itu adalah aku, kamu dan rasaku.
Mengawali cinta dengan cara mengagumi. Mengikuti alur kisah ini dengan cara mengagumi.
Dan aku berharap, kamu mengerti senyumku, senyum dimana aku titipkan rasaku ini untukmu. Kamu… Kamu yang berbeda, spesial dan selalu istimewa. Kamu yang telah membiarkan hati ini mempersilahkan kamu masuk.