Jarak…
Terkadang, ketika kita memiliki sesuatu yang kita anggap nyaman dan
kita anggap bahwa “ini muara aku” di saat itu juga kita harus sadar tidak
selamanya apa yang kita anggap pantas, pantas juga untuk Tuhan. Pantas untuk
memberi senyum, menjaga, menemani, membagi cerita dan membuat cerita bersama
kita.
Ketika seseorang itu pergi
menyisakan sisa senyum, menutup cerita, meninggalkan kenangan dan menitipkan
perasaan. Apa yang dibutuhkan jiwa ini selain seseorang yang baru yang mampu
melanjutkan senyum, memberi cerita baru, mengubah kenangan menjadi pengalaman
dan merebut istana kokoh yang disebut hati. Seseorang yang baru itu mungkin
pantas disebut malaikat. Iya kan? Orang hebat itu banyak tapi orang yang mampu
membuat seseorang merasa hebat itu hanya malaikat tanpa sayap punya Tuhan.
Tuhan mendengar dan melihat.
Tuhan mengerti apa yang dibutuhkan jiwa itu. Tuhan punya malaikat. Malaikat
tanpa sayap, yang hanya membawa sebuah tulus dan cerita baru.
Malaikat itu menyentuh dan
sesekali meyakinkan hati itu. Hingga pada saatnya malaikat itu mampu, mampu
melanjutkan, memberi, mengubah dan merebut segalanya yang dimiliki jiwa itu.
Bahagia, apa ada rasa yang lebih
pantas selain bahagia untuk jiwa yang baru mendapatkan seorang malaikat tanpa
sayap? Malaikat yang membawa cinta, cinta yang tulus. Malaikat yang mampu,
mampu membuat jiwa itu menjadi jiwa yang merasa menjadi satu-satunya dan tidak
ada duanya.
Jiwa itu sekarang memiliki
malaikat tanpa sayap, pelangi yang datang pada waktu yang tepat dan cinta yang
hanya membawa kesederhanaan. Sederhana itu? Malaikat itu menjadi sederhana
dengan segala keistimewaannya, kehebatannya dan cintanya.
Jiwa itu bahagia. Berjalan
mengikuti jalan Tuhan, bersama malaikatnya dan senyumnya.
Waktu berjalan, cerita terus
berlanjut dan cinta terus memerankan perannya.
Lalu apa hubungannya dengan
jarak? Sesuatu yang hanya memberikan batas, yang selalu memunculkan pertanyaan
“Jauh atau dekat?” “Mungkin atau tidak?” “Sanggup atau tidak?” “Bagaimana untuk
kesana?” “Kapan?” “Dengan siapa?” dan “Kemana?”
Aku benci, aku kesal dan aku
protes.
Hingga saatnya datang. Tuhan
mulai memberi tau rencana-Nya. Rencana yang bekerja sama dengan sesuatu yang
dinamakan jarak. Sesuatu yang memberi batas mulai berperan.
Sebelum tiba saatnya mereka
benar-benar menjalani rencana-Nya itu, waktu membiasakan mereka untuk terbiasa
dalam sesuatu yang jauh, jarak, bukan hati dan perasaan mereka. Sebenarnya…
Jiwa itu sempat, sempat
meyakinkan malaikat itu…
“Kamu tau kan aku akan jauh sama
kamu dalam jarak, lalu kamu kenapa masih tulus ingin disini dan seperti ini,
seperti menjagaku ini?”
“Karena aku sayang kamu..”
Sebagaimana seorang malaikat yang
tulus menjaga dan memberi senyum.
Jarak itu memulainya…
Ada air mata, rencana indah,
janji di antara mereka dan kepercayaan yang sedari dulu tumbuh diantara mereka.
Akhirnya, jiwa itu pergi
menjalankan rencana-Nya ke arah Timur, menempati daerah yang biasa orang lain
menyebutkan “Istimewa” dan tentu meninggalkan malaikatnya bersama segala yang
ia titipkan…
Apa arti daerah istimewa untuk
jiwa yang meninggalkan seseorang yang teristimewa baginya di daerah lain?
Jiwa itu hanya menjadi
kepingan-kepingan kecil yang hampa diantara orang-orang lain yang memiliki
kenyamanan di daerah “Istimewa” itu. Ada beberapa hal yang mungkin menahannya
untuk terus berusaha mencari dan menemukan kenyaman di daerah itu…
Mereka, jiwa dan malaikatnya
masih terikat dalam cerita, rencana dan janji mereka.
Cinta… Mungkin hanya perasaan
tulus itu yang mampu menahan mereka.
Ujian-Nya datang bertubi-tubi,
seolah-olah membuat mereka berpikir, bahwa mereka tidak sanggup dan tidak
mungkin dengan jarak yang seperti ini untuk menjalani rencana dan janji mereka.
Sial…
Jiwa itu terlalu mempertahankan
malaikatnya karena jiwa itu yakin muaranya ada di malaikat itu. Malaikatnya
terlalu baik dan terlalu tulus. Merka masing-masing menyadari itu.
Sebuah keegoisan lembut di antara
mereka…
Kalau memang cinta yang sederhana
itu menjadi sesuatu yang hebat dan bisa melawan segalanya yang memberi batas,
apa salahnya?
Cinta itu mempertahankan, bukan?
Tapi cinta itu juga ketulusan?
Ketulusan membuat seseorang yang dicintai merasakan bahagia dan memiliki
senyum…
Lalu apa yang harus dilakukan
ketika mempertahankan tapi tidak bisa sepenuhnya tulus memberikan bahagia itu?
Bahagia seutuhnya… Bahagia yang menurut orang lain adalah mencintai orang yang
bersamanya, dekatnya dalam hati dan juga jarak…
Apa jiwa itu masih ingin menjadi
jiwa yang egois ketika sebenarnya dia tau apa itu cinta sebenarnya…
Malaikat itu kuat dan sanggup
dimata jiwa itu. Tapi selalu ada kekuatan dibalik air mata dan selalu ada
keluhan dibalik senyum, bukan?
Jiwa itu harus benar-benar
bijaksana. Terlalu amat mencintai dan takut kehilangan malaikatnya.
Egois.
Hingga akhirnya, jiwa itu sadar…
Mereka tepatnya, jiwa dan malaikatnya.
Ikatan bukan yang terpenting.
Terikat belum tentu akhirnya nanti akan bersama. Masih ada perasaan, hal yang
terpentin bukan?
Mereka terpisah, dalam jarak dan
ikatan.
Bukan perasaan, begitulah jiwa
itu merasakannya.
Malaikat, apa kamu demikian?Apa semua masih tersimpan dan tertata?
Aku disini masih menyimpan semua senyum, rencana, janji dan satu “rasa”
itu, milik kita yang dulu.
Oh ya, aku benci sesuatu yang memberi batas
ini. Sangat benci.