Jika pada akhir waktu, rasa hati tidak aku ungkapkan, aku akan tetap berusaha membuatnya hidup dalam tulisan-tulisanku.

Sunday, November 11, 2012

Jiwa itu dan malaikatnya-Awal manis itu


Jarak…
Terkadang, ketika kita memiliki sesuatu yang kita anggap nyaman dan kita anggap bahwa “ini muara aku” di saat itu juga kita harus sadar tidak selamanya apa yang kita anggap pantas, pantas juga untuk Tuhan. Pantas untuk memberi senyum, menjaga, menemani, membagi cerita dan membuat cerita bersama kita.

Ketika seseorang itu pergi menyisakan sisa senyum, menutup cerita, meninggalkan kenangan dan menitipkan perasaan. Apa yang dibutuhkan jiwa ini selain seseorang yang baru yang mampu melanjutkan senyum, memberi cerita baru, mengubah kenangan menjadi pengalaman dan merebut istana kokoh yang disebut hati. Seseorang yang baru itu mungkin pantas disebut malaikat. Iya kan? Orang hebat itu banyak tapi orang yang mampu membuat seseorang merasa hebat itu hanya malaikat tanpa sayap punya Tuhan.

Tuhan mendengar dan melihat. Tuhan mengerti apa yang dibutuhkan jiwa itu. Tuhan punya malaikat. Malaikat tanpa sayap, yang hanya membawa sebuah tulus dan cerita baru.

Malaikat itu menyentuh dan sesekali meyakinkan hati itu. Hingga pada saatnya malaikat itu mampu, mampu melanjutkan, memberi, mengubah dan merebut segalanya yang dimiliki jiwa itu.

Bahagia, apa ada rasa yang lebih pantas selain bahagia untuk jiwa yang baru mendapatkan seorang malaikat tanpa sayap? Malaikat yang membawa cinta, cinta yang tulus. Malaikat yang mampu, mampu membuat jiwa itu menjadi jiwa yang merasa menjadi satu-satunya dan tidak ada duanya.

Jiwa itu sekarang memiliki malaikat tanpa sayap, pelangi yang datang pada waktu yang tepat dan cinta yang hanya membawa kesederhanaan. Sederhana itu? Malaikat itu menjadi sederhana dengan segala keistimewaannya, kehebatannya dan cintanya. 

Jiwa itu bahagia. Berjalan mengikuti jalan Tuhan, bersama malaikatnya dan senyumnya.

Waktu berjalan, cerita terus berlanjut dan cinta terus memerankan perannya.


Lalu apa hubungannya dengan jarak? Sesuatu yang hanya memberikan batas, yang selalu memunculkan pertanyaan “Jauh atau dekat?” “Mungkin atau tidak?” “Sanggup atau tidak?” “Bagaimana untuk kesana?” “Kapan?” “Dengan siapa?” dan “Kemana?”

Aku benci, aku kesal dan aku protes.

Hingga saatnya datang. Tuhan mulai memberi tau rencana-Nya. Rencana yang bekerja sama dengan sesuatu yang dinamakan jarak. Sesuatu yang memberi batas mulai berperan.

Sebelum tiba saatnya mereka benar-benar menjalani rencana-Nya itu, waktu membiasakan mereka untuk terbiasa dalam sesuatu yang jauh, jarak, bukan hati dan perasaan mereka. Sebenarnya…

Jiwa itu sempat, sempat meyakinkan malaikat itu…

“Kamu tau kan aku akan jauh sama kamu dalam jarak, lalu kamu kenapa masih tulus ingin disini dan seperti ini, seperti menjagaku ini?”
“Karena aku sayang kamu..”
Sebagaimana seorang malaikat yang tulus menjaga dan memberi senyum.


Jarak itu memulainya…

Ada air mata, rencana indah, janji di antara mereka dan kepercayaan yang sedari dulu tumbuh diantara mereka.

Akhirnya, jiwa itu pergi menjalankan rencana-Nya ke arah Timur, menempati daerah yang biasa orang lain menyebutkan “Istimewa” dan tentu meninggalkan malaikatnya bersama segala yang ia titipkan…

Apa arti daerah istimewa untuk jiwa yang meninggalkan seseorang yang teristimewa baginya di daerah lain?
Jiwa itu hanya menjadi kepingan-kepingan kecil yang hampa diantara orang-orang lain yang memiliki kenyamanan di daerah “Istimewa” itu. Ada beberapa hal yang mungkin menahannya untuk terus berusaha mencari dan menemukan kenyaman di daerah itu…

Mereka, jiwa dan malaikatnya masih terikat dalam cerita, rencana dan janji mereka.

Cinta… Mungkin hanya perasaan tulus itu yang mampu menahan mereka.

Ujian-Nya datang bertubi-tubi, seolah-olah membuat mereka berpikir, bahwa mereka tidak sanggup dan tidak mungkin dengan jarak yang seperti ini untuk menjalani rencana dan janji mereka.

Sial…

Jiwa itu terlalu mempertahankan malaikatnya karena jiwa itu yakin muaranya ada di malaikat itu. Malaikatnya terlalu baik dan terlalu tulus. Merka masing-masing menyadari itu.

Sebuah keegoisan lembut di antara mereka…

Kalau memang cinta yang sederhana itu menjadi sesuatu yang hebat dan bisa melawan segalanya yang memberi batas, apa salahnya?

Cinta itu mempertahankan, bukan?

Tapi cinta itu juga ketulusan? Ketulusan membuat seseorang yang dicintai merasakan bahagia dan memiliki senyum…

Lalu apa yang harus dilakukan ketika mempertahankan tapi tidak bisa sepenuhnya tulus memberikan bahagia itu? Bahagia seutuhnya… Bahagia yang menurut orang lain adalah mencintai orang yang bersamanya, dekatnya dalam hati dan juga jarak…

Apa jiwa itu masih ingin menjadi jiwa yang egois ketika sebenarnya dia tau apa itu cinta sebenarnya…

Malaikat itu kuat dan sanggup dimata jiwa itu. Tapi selalu ada kekuatan dibalik air mata dan selalu ada keluhan dibalik senyum, bukan?

Jiwa itu harus benar-benar bijaksana. Terlalu amat mencintai dan takut kehilangan malaikatnya.

Egois.

Hingga akhirnya, jiwa itu sadar… Mereka tepatnya, jiwa dan malaikatnya.

Ikatan bukan yang terpenting. Terikat belum tentu akhirnya nanti akan bersama. Masih ada perasaan, hal yang terpentin bukan?

Mereka terpisah, dalam jarak dan ikatan.

Bukan perasaan, begitulah jiwa itu merasakannya.


Malaikat, apa kamu demikian?Apa semua masih tersimpan dan tertata?
Aku disini masih menyimpan semua senyum, rencana, janji dan satu “rasa” itu, milik kita yang dulu.
Oh ya, aku benci sesuatu yang memberi batas ini. Sangat benci.



No comments:

Post a Comment