Kesedihan
Entah harus bahagia
atau takut jika hidup beratus-ratus tahun lamanya. Aku memang merasakan bahagia
tapi sedih juga sering menemani setiap harinya. Aku tidak terlalu paham
dengan dunia psikologi, sedih yang
dirasakan itu murni dari faktor di luar diriku atau malah dari diri dan
sugestiku sendiri. Sakit hati, bertengkar dengan ibu, berselisih paham dengan
orang tua, masalah dengan sahabat, merasa tidak memiliki siapa-siapa, atau
merasakan sakit. Siapa yang tidak akan sedih bila merasakannya? Namun aku percaya setiap orang memiliki detiknya
masing-masing untuk bisa bahagia atau bersedih.
Siapa orang yang
peling bersedih di dunia ini?
Mereka yang tidak bisa
bersekolah dan tidak menikmati masa-masanya?
Mereka yang tidak bisa
merasakan cukup setiap harinya?
Mereka yang tidak bisa
lepas dari kemiskinan dan kekurangan?
Mereka yang hidup
sebatang kara, sendiri, dan sepi?
Mereka yang mengidap kanker,
menjalani kemoterapi, dan kehilangan rambut indahnya?
Mereka yang mengidap
tumor ganas dan hidup dalam penderitaan?
Mereka yang buta dan
tidak bisa melihat indahnya semesta?
Mereka yang tuli dan
tidak bisa mendengar bunyi-bunyi semesta?
Mereka yang lumpuh dan
tidak bisa berlari dan bermain sendiri?
Mereka yang tidak
memiliki tangan dan tidak menulis sendiri kata-kata indahnya?
Beberapa detik
membuatku sangat sedih,
Kehilangan seorang
perempuan yang menjadi panutan hidupku, seseorang yang bisa menjadi ibu yang
galak, seseorang yang bisa menjadi sahabat, seseorang yang bisa menjadi guru
terbaikku, dan dia lah yang aku panggil dengan sebutan Iyi atau Mbah Yi. Di waktu
kecil Iyi menyayangi cucu-cunya melebihi kasih sayang ke anak-anaknya. Beliau yang
selalu mengingatkan aku untuk menjalani 5 waktu, yang meyakiniku bahwa aku akan
mendapat ranking 3 besar sewaktu SD, yang mengajakku untuk menemaninya belanja,
mengambil pensiunan, memarahiku jika telat pulang dan meninggalkan kewajibanku.
Keberadaannya adalah hal yang paling indah, lebih dari memiliki pacar yang
sangat baik sekalipun. Tuhan menyayanginya dan memilihnya lebih dulu untuk di
atas sana, bersama suami tercintanya. Beliau
memang pergi tapi aku selalu merasakan kehadirannya yang memelukku dengan kasih
sayang seperti dulu.
Meninggalkan Jakarta
dan mereka yang aku sayang. Keputusan yang terlalu cepat dan tidak berpikir panjang.
Jauh dari sahabat dan seseorang yang spesial. Dia yang memberi segala yang baru
dan indah, dia yang harus aku tinggalkan di kotanya, dan dia yang pada akhirnya
harus aku relakan untuk menjalani hidupnya tanpa aku, aku sebagai seseorang
yang di hatinya. Mereka memang terlalu
indah untuk aku tinggalkan.
Di Yogyakarta ini, aku
belajar dan aku bersyukur. Yogyakarta membuat keluarga kecilku ini semakin
saling mengerti satu sama lain. Mengajari dan menyadariku bahwa mendapatkan
indah harus melewati banyak rintangan. Mengenali beberapa orang yang memberikan
banyak pengalaman dan pelajaran hidup. Menemukan banyak arti cinta dan
mengajakku untuk menulis tentangnya, menghargai setiap detik di setiap detaknya,
mendekatkan aku kepada Sang Penentu, dan pada akhirnya Yogyakarta lah yang membuatku mengenal lebih dekat dengan hidup, hidup
yang sesungguhnya.
Kesedihan yang begitu
sakit tidak akan betah menempati seseorang yang mengenal dekat apa arti hidup. Aku
memiliki banyak harta di hidup ini berupa orang-orang yang begitu aku sayang,
seperti Ibu, Bapak, Mama, Bapak Ais, semua om dan tante, Ais, Fira, Nanda, Nindi,
sepupu lainnya, sahabat-sahabatku di Jakarta, Kak Rahma, sahabat-sahabatku di
Jogja dan banyak lagi yang nggak bisa aku sebutin semua. Memiliki mereka yang
begitu berharga, menonton film Surat Kecil untuk Tuhan, melihat berita remaja
yang meninggal, memiliki salah satu sahabat SD yang lebih dulu dipeluk Tuhan,
dan memutuskan pindah ke luar kota telah membuat aku sadar bahwa kesedihan sesungguhnya adalah ketika aku
harus meninggalkan semua yang sangat berarti di hidupku.
Membiarkan
kesedihan bersamamu tidak akan pernah membuatmu bersyukur atas anugerahNya di setiap
hembusan nafas.
No comments:
Post a Comment