Sedang Tersenyum
Hai Sabtu, masih ingat
kamu dan aku di minggu lalu?
Ketika kamu membuatku
menangis di lantai dua,
Ketika kamu membuat
dua orang temanku menemaniku untuk menangis,
Ketika kamu mengakhiri
semua harapanku yang tidak aku sadari.
Mungkin kamu berbaik
hati, membiarkan aku mengerti apa yang belum aku ketahui.
Membuatku
mengerti melalui sakit.
Tentang ambisi mengekori
rasa,
Ego untuk memiliki?
Aku tidak menyadari
bahwa jauh di sudut hati, aku ingin memilikinya.
Mungkin sebuah rasa
bisa lebih kuat daripada sebuah ambisi.
Dan rasaku menutupi
sebagian ambisi itu.
Tentangnya dan sakit
milik aku,
Aku sakit karena
diriku sendiri, egoku sendiri dan rasaku sendiri.
Kata salah seorang
teman, “Tidak ada yang patut disalahkan.”.
Cinta
tidak pernah salah. Namun, cinta terkadang tidak ditemani dengan keadaan yang
tepat, kapan, dimana dan bagaimana cinta itu datang.
Aku tidak memadamkan rasa yang sudah ada.
Aku hanya mendiaminya
tetap di salah satu sisi hati.
Aku tidak menguatinya,
membuatnya tetap tumbuh.
Aku hanya mendiaminya
tetap di salah satu sisi hati.
Aku tidak pernah dan
tidak ingin membenci rasa ini, apalagi untuk membenci dia. Dia, seseorang yang
ditujukan oleh rasa ini.
Sabtu, setelah
seminggu ini. Aku, seseorang yang menggantungkan rasa pada harapan semu cukup
berhasil membiarkan rasa itu lepas dari semua harapan yang digantungkan.
Lalu apa yang harus
aku lakukan?
Soal menunggu?
Bukan
perkara yang mudah untuk menunggu seseorang yang sebelumnya tidak memberi satu
janji sekalipun kepada kita.
Suatu saat nanti,
entah iya atau tidak, aku masih tepat berada di belakangnya, memperhatikan setiap
inci bayangannya.
Sabtu, aku tidak
pernah menyesal pernah menitipkan air mata dan sakitku denganmu.
Ya Allah,
Aku
sakit untuk mengerti dan menerima
Aku
sakit untuk merelakan dan mendoakan
Aku
sakit untuk senyumku dan senyumnya
Aku
sakit untuk menciptakan bahagia
Aku
percaya
Amin
No comments:
Post a Comment