Embun,
aku mulai lelah. Aku ingin berhenti bermain.
Senja, masih ingat aku? Terima kasih sudah menemaniku untuk mengawali suratku.
Ini tidak lebih
penting dari hidupmu, tidak lebih penting dari apa yang kamu miliki sekarang,
ini hanya sebagian tulisanku yang aku biarkan saja berdiam dalam sebuah buku
catatan kecil.
Sudah lama aku
menganggap buku dan tulisan sebagai teman bercerita tentang kamu.
Sudah beribu-ribu kata
yang aku khususkan untuk kamu. Begitu spesialnya kamu jika kamu menyadarinya
selama ini.
Mungkin tulisanku
tidak berarti apa-apa untukmu. Bukan kesadaranmu yang aku inginkan, aku hanya
ingin menulis dan bercerita dengan semesta tentang siapa yang mendiami suatu
tempat yang spesial.
Ada yang tertinggal
sebelum semuanya akan selesai. Sementara atau untuk abadi.
Suatu detik pada
tanggal 21 Juli 2013, aku menulis tentangmu:
Padahal aku sudah
mulai belajar merelakan jarak di antara hati kita. Tapi... tiba-tiba saja waktu
membuat aku merasa lebih dekat dengan kamu. Bukannya aku tidak bahagia berada
di dekatmu. Aku hanya takut kalau nanti hati ini terlalu kuat menggenggam
dirimu, hingga aku ragu untuk bisa jauh dari dirimu lagi. Maaf kalau sampai
saat ini cinta ini masih saja nyata, walaupun kamu belum mengerti.
Bukan sajak atau
puisi. Ini sebagian dari ragu yang pernah ada, kenyataan-kenyataan yang
harusnya aku sadari sejak awal, hingga tidak ada kata “terlanjur” pada akhirnya.
Iya, seperti sekarang.
Mungkin rasa ini tidak
setulus dan sebesar apa yang mereka pikirkan.
Aku tidak tulus
mencintaimu. Aku harus mengatakan ini agar aku bisa menyudahi semuanya.
Mencintaimu adalah
bukan keputusanku. Tapi apa aku pantas menyalahi hati yang sudah Dia ciptakan sempurna
untuk membuat ada rasa indah ini?
Mereka bilang,
menyesali semua yang pernah ada bukan jalan satu-satunya membiarkan sosokmu
pergi.
Menempatkanmu adalah
bukan keputusanku. Tapi apa aku pantas mengusirmu dengan sengaja?
Mereka bilang,
tulisanku tidak pernah sia-sia ada. Kata-kata itu memperhatikan kamu dan aku.
Menjadi saksi bisu dari rasa yang pengecut.
Menulis tentang kamu
adalah bukan keputusanku. Tapi apa aku pantas memusuhi seluruh tulisan yang
pernah ada, yang telah menguraikan rasa?
Mereka bilang, tidak
ada yang harus disalahkan.
Kali ini, aku
menyalahkan egoku. Pantas dan harus. Ego yang membiarkan rasa ini di awal.
Sakit.
Di saat kehilangan suatu hal yang tidak pernah dimiliki.
Maaf, aku harus
membodohi diriku sendiri, membiarkan suatu hal yang harusnya tidak terjadi,
tidak boleh terjadi.
Mungkin ini saatnya,
menghentikan semuanya dan menyimpan sosokmu ke sisi hati yang seharusnya, ke
sisi yang bukan aku sediakan sekarang.
Sudah cukup. Berhenti
dulu berbicara tentang kamu. Aku tidak menginginkan kamu ikut bersusah payah
karena semua ini.
Kamu memiliki definisi
cinta dan bahagia yang lain, yang belum aku bisa artikan.
Aku memiliki definisi
cinta dan bahagia yang lain, yang belum kamu kenal dan mengerti.
Kita
tidak pernah bertemu dalam suatu persimpangan antara kata cinta dan bahagia.
Berjalan lah bersama
rasaku yang terlanjur mengekorimu, mungkin akan sedikit mengganggumu, namun aku
pastikan tidak ada lagi rasa yang sengaja aku kuatkan.
Dengan sederhana dan
sangat diam, aku menyimpan rasa ini di sudut hati bersama sosokmu.
Tuhan,
terima kasih pernah membiarkan rasa ini untuk menulis surat cinta, melukiskan
senyum, meneteskan butir air mata dan mengajari arti dari sebuah diam dan
ketulusan.
Tuhan,
jaga dirinya yang spesial, biarkan sehat dan senyum bersamanya. Biarkan doaku
bersamanya.
Tuhan,
berikan kedamaian hati atas ketentuanmu ini. Biarkan semua yang ada di
sudut hati ini hingga nanti aku tidak sadar sudah merelakannya dengan ikhlas.
Jika
Kau bertanya apa aku masih mencintainya? Aku pastikan, iya.
Jika
Kau bertanya apa aku akan tetap mencintainya? Biarkan hati ini beristirahat
sejenak bermain dengan satu rasa itu. Dia mulai lelah. Ketika dia sudah cukup
kuat, dia akan bermain dengan rasa itu di kemudian hari. Di hari ketika
semuanya masih sama atau berbeda sekalipun.
Terima
kasih sudah mengajariku untuk mencintai seseorang dengan cara yang lain, yang diam
dan penuh dengan tulisan.
Aku titip semua doa, Tuhan.
Terima kasih sudah membaca surat-suratku.
Aku
mencintaimu. Sudah itu saja.
02:11
No comments:
Post a Comment