Jika pada akhir waktu, rasa hati tidak aku ungkapkan, aku akan tetap berusaha membuatnya hidup dalam tulisan-tulisanku.

Sunday, November 10, 2013

Mungkin ini Surat yang Terakhir

Embun, aku mulai lelah. Aku ingin berhenti bermain.

Senja, masih ingat aku? Terima kasih sudah menemaniku untuk mengawali suratku.





Ini tidak lebih penting dari hidupmu, tidak lebih penting dari apa yang kamu miliki sekarang, ini hanya sebagian tulisanku yang aku biarkan saja berdiam dalam sebuah buku catatan kecil.

Sudah lama aku menganggap buku dan tulisan sebagai teman bercerita tentang kamu.

Sudah beribu-ribu kata yang aku khususkan untuk kamu. Begitu spesialnya kamu jika kamu menyadarinya selama ini.

Mungkin tulisanku tidak berarti apa-apa untukmu. Bukan kesadaranmu yang aku inginkan, aku hanya ingin menulis dan bercerita dengan semesta tentang siapa yang mendiami suatu tempat yang spesial.

Ada yang tertinggal sebelum semuanya akan selesai. Sementara atau untuk abadi.

Suatu detik pada tanggal 21 Juli 2013, aku menulis tentangmu:

Padahal aku sudah mulai belajar merelakan jarak di antara hati kita. Tapi... tiba-tiba saja waktu membuat aku merasa lebih dekat dengan kamu. Bukannya aku tidak bahagia berada di dekatmu. Aku hanya takut kalau nanti hati ini terlalu kuat menggenggam dirimu, hingga aku ragu untuk bisa jauh dari dirimu lagi. Maaf kalau sampai saat ini cinta ini masih saja nyata, walaupun kamu belum mengerti.


Bukan sajak atau puisi. Ini sebagian dari ragu yang pernah ada, kenyataan-kenyataan yang harusnya aku sadari sejak awal, hingga tidak ada kata “terlanjur” pada akhirnya. Iya, seperti sekarang.



Mungkin rasa ini tidak setulus dan sebesar apa yang mereka pikirkan.

Aku tidak tulus mencintaimu. Aku harus mengatakan ini agar aku bisa menyudahi semuanya.

Mencintaimu adalah bukan keputusanku. Tapi apa aku pantas menyalahi hati yang sudah Dia ciptakan sempurna untuk membuat ada rasa indah ini?

Mereka bilang, menyesali semua yang pernah ada bukan jalan satu-satunya membiarkan sosokmu pergi.

Menempatkanmu adalah bukan keputusanku. Tapi apa aku pantas mengusirmu dengan sengaja?

Mereka bilang, tulisanku tidak pernah sia-sia ada. Kata-kata itu memperhatikan kamu dan aku. Menjadi saksi bisu dari rasa yang pengecut.

Menulis tentang kamu adalah bukan keputusanku. Tapi apa aku pantas memusuhi seluruh tulisan yang pernah ada, yang telah menguraikan rasa?

Mereka bilang, tidak ada yang harus disalahkan.

Kali ini, aku menyalahkan egoku. Pantas dan harus. Ego yang membiarkan rasa ini di awal.

Sakit. Di saat kehilangan suatu hal yang tidak pernah dimiliki.

Maaf, aku harus membodohi diriku sendiri, membiarkan suatu hal yang harusnya tidak terjadi, tidak boleh terjadi.

Mungkin ini saatnya, menghentikan semuanya dan menyimpan sosokmu ke sisi hati yang seharusnya, ke sisi yang bukan aku sediakan sekarang.

Sudah cukup. Berhenti dulu berbicara tentang kamu. Aku tidak menginginkan kamu ikut bersusah payah karena semua ini.



Kamu memiliki definisi cinta dan bahagia yang lain, yang belum aku bisa artikan.

Aku memiliki definisi cinta dan bahagia yang lain, yang belum kamu kenal dan mengerti.

Kita tidak pernah bertemu dalam suatu persimpangan antara kata cinta dan bahagia.

Berjalan lah bersama rasaku yang terlanjur mengekorimu, mungkin akan sedikit mengganggumu, namun aku pastikan tidak ada lagi rasa yang sengaja aku kuatkan.

Dengan sederhana dan sangat diam, aku menyimpan rasa ini di sudut hati bersama sosokmu.


Tuhan, terima kasih pernah membiarkan rasa ini untuk menulis surat cinta, melukiskan senyum, meneteskan butir air mata dan mengajari arti dari sebuah diam dan ketulusan.

Tuhan, jaga dirinya yang spesial, biarkan sehat dan senyum bersamanya. Biarkan doaku bersamanya.

Tuhan, berikan kedamaian hati atas ketentuanmu ini. Biarkan semua yang ada di sudut hati ini hingga nanti aku tidak sadar sudah merelakannya dengan ikhlas.

Jika Kau bertanya apa aku masih mencintainya? Aku pastikan, iya.

Jika Kau bertanya apa aku akan tetap mencintainya? Biarkan hati ini beristirahat sejenak bermain dengan satu rasa itu. Dia mulai lelah. Ketika dia sudah cukup kuat, dia akan bermain dengan rasa itu di kemudian hari. Di hari ketika semuanya masih sama atau berbeda sekalipun.

Terima kasih sudah mengajariku untuk mencintai seseorang dengan cara yang lain, yang diam dan penuh dengan tulisan.

Aku titip semua doa, Tuhan.



Terima kasih sudah membaca surat-suratku.

Aku mencintaimu. Sudah itu saja.


02:11

No comments:

Post a Comment