Perpustakaan
Kota dan Hujan Tahun Lalu
Seperti
tahun lalu,
Seperti hujan
tahun lalu,
Seperti rasa
yang berawal di tahun lalu,
Butir-butir air langit
yang jatuh di siang kota mengajakku berteduh di perpustakaan yang telah menjadi
saksi diam perjalananku.
Tahun lalu, ketika
pendidikan belum terlalu menjerat kuat, kusempatkan sekali dalam seminggu untuk
sekedar menciptakan tulisan dalam ruangan yang penuh buku itu.
Di sudut itu, di
samping dinding kaca yang mengarah ke selatan, berhadapan dengan majalah
dinding, aku menghabiskan banyak waktu sendiri atau bersama salah satu sahabat.
Aroma khasnya masih
sama seperti tahun lalu, aroma buku tua yang terawat dan buku baru yang tertular
aroma tua teman-temannya.
Pemandangan orang
sekitar masih sama seperti tahun lalu, di lantai bawah yang memiliki beberapa
bilik dan beberapa kursi meja juga beserta manusia yang bersahabat dengan buku
dan di lantai atas yang penuh dengan mahasiswa atau mahasiswi yang berkelana
bersama tugas akhirnya.
Aku masih mencintai
tempat ini.
Aku tersadar, saat ini
aku sedang bersama Laras dan Mila. Laras yang mendapatkan sebuah novel “Waktu
Aku sama Mika” yang sudah dibacanya berulang kali dan juga satu novel lainnya,
serta Mila yang memilih buku komedi, buku kumpulan diet dan buku psikologi.
Beberapa menit aku
mencari, aku mendapatkan sebuah buku kumpulan puisi yang tua, yang memiliki
kertas berwarna coklat muda sebagaimana buku tua biasanya dan juga novel “Sepasang
Mata untuk Cinta yang Buta”.
Sibuk dengan bukunya
masing-masing, kami saling diam dan sesekali bercanda hingga membuat orang lain
cukup kesal.
Selama membaca buku
kumpulan puisi ini, aku tidak lupa mencatat beberapa kalimat beraroma yang
kutemukan di dalamnya, aku abadikan juga di dalam buku kecil merahku yang
bergambar hati.
Aku mengagumi mereka
yang mampu mengubah kata sederhana menjadi sebuah barisan puisi-puisi yang bernyawa.
Kutemukan sebagian
jiwa dari Odgen, John Clare, William Wordsworth, Philip Henry Savage, Lord
Byron, Chino Masako, Jalaluddin Rumi, W.S Merwin, Juana Inez De La Cruz, Sophie
Hannada, dan juga William Shakespare.
Aku menikmati seluruh
isi buku itu yang dibagi beberapa bagian perjalanan mencintai, dari awal
mencintai hingga kenangan yang tertinggal atas kepergiannya.
Membaca buku itu
membawa aku berkelana kembali dengan cerita lama yang telah aku tinggalkan,
merasakan sapanya kembali, dan mengajakku untuk menghidupkannya lagi dalam
sebuah tulisan.
Aku sampai di akhir
isi buku itu setelah aku meletakkan kata-kata di empat halaman buku kecilku.
Aku akan membagi
beberapa potongan puisi suatu saat nanti, yang kuselipkan di antara rasa yang
lain.
Novel satu lainnya
tidak sempat aku baca karena aku tidak memiliki banyak waktu di tempat ini.
Melanjutkan perjalanan..
Aku kembali dengan
meja makan dimana aku biasa menulis di rumah dan menemukan beberapa kata di halaman
paling belakang buku kecilku...
“Karena
satu-satunya yang bisa mengakhiri setiap cerita yang kamu tulis hanyalah
kematian. Jangan berhenti menulis Hany Nurulhadi :)”
(Ada
yang aku edit beberapa)
Perpuskot
19/4/14
Laras
Aku tersenyum ditemani
cinta, Laras...
No comments:
Post a Comment