Selamat membaca, kamu
yang sedang ingin melukis rindu di atas kanvas bernama ‘pelukan’.
Adalah awal yang
paling membingungkan membuat surat apalagi puisi untuk kalian, Bu, Pak.
Aku, putri tunggal
kalian terlalu banyak memikul gengsi untuk memeluk kalian, dari pelukan yang berwujud deretan puisi sampai pelukan
yang nyata.
Bukan, bukannya aku
malas untuk merangkai satu per satu kata untuk menguraikan sosok kalian.
Bukan pula aku yang
tidak memiliki waktu untuk menggenggam pensil dan menulisnya di dalam buku biru
muda puisiku.
Aku terlena oleh
cinta-cinta lain yang sebenarnya semu.
Yang sebenarnya tidak
tepat untuk aku memujanya begitu dalam.
Yang aku jadikan
inspirasi untuk menulis surat atau puisi cinta.
Yang menguras
imajinasiku dan menempati banyak sudut di kalam hati ini.
Benar, Bu, Pak.
Aku tidak sadar bahwa
begitu dekatnya jarak kita, begitu banyak waktu yang kita miliki, begitu banyak
topik hangat untuk kita bicarakan yang seharusnya bisa kita lahap dengan rakus,
habis.
Mungkin Ibu yang
terlalu gemar berkomentar dan menyalahkan apapun yang aku kerjakan.
Mungkin Bapak yang
terlalu acuh dengan apa yang aku perjuangkan selama ini.
Aku yang tidak cukup
berusaha menggantungkan bingkai bahagia di hati kalian dan bersyukur memiliki
kalian.
Aku melewati banyak
sekali detik dan detak yang seharusnya bisa aku curi untuk membahagiakan kalian.
Sejak Ibu yang masih
memiliki pipi tembam dan kencang, hingga kini yang sudah berubah menjadi
sedikit keriput.
Sejak Bapak yang
selalu menjadi orang terkuat di keluarga kecil ini, hingga kini telah menjadi
yang terlemah di antara kita.
Hal yang tidak kalian
ketahui dan yang akan membuat kalian sakit adalah bahwa aku pernah memiliki
rasa iri kepada keluarga lain, Bu, Pak.
Ada beberapa hal yang
mungkin tidak aku dapatkan dari kalian, yang membuatku seperti nelangsa tidak
memilikinya.
Tapi mungkin harusnya
aku menampar diriku sendiri atau bahkan melemparkan cermin ke arahku sendiri,
hingga kepingan cermin itu menyobek naluriku agar diriku sadar.
Kalian selalu
berusaha, menyakiti diri kalian, hingga mempertaruhkan hidup hanya untuk
memenuhi kotak bahagia yang aku miliki, hanya milikku, bukan milik kalian.
Kalian selalu mengeja
namaku setiap kalian berhadapan dengan Yang Mahacinta, nama yang diiringi doa paling
tulus di seluruh semesta ini.
Kalian selalu
menikmati sendiri luka yang aku ciptakan, mengabaikannya, melupakannya, dan
menyayangiku lagi seperti biasanya.
Jauh seperti aku yang
terkadang begitu lama memiliki keluh hingga tega menyakiti sumber cinta tulus
milik kalian, hati kalian.
Maafkan aku, Bu, Pak.
Maafkan aku putri
tunggal kalian, Bu, Pak.
Maafkan aku, anak kalian
masih jauh dari kata baik untuk kalian, Bu, Pak.
Sekarang, mungkin
saatnya untuk aku menunjukkan kepada banyak orang bahwa aku berterima kasih, menunjukkan
cinta dan sayangku kepada kalian, yang sebenarnya begitu besar dan dalam.
Terima kasih untuk Ibu
yang tidak pernah lelah menegurku, mencintaiku dengan amarah, dan yang selalu
mengkhawatirkanku. Semoga Ibu selalu bersayapkan kekuatan untuk mengurusi suami
dan anakmu.
Terima kasih untuk
Bapak yang tidak pernah lelah mencari bekal bahagia keluarga kecil kita dan
untuk kepercayaan yang bapak berikan, yang tidak diberikan ke putri tunggal
lainnya. Semoga Bapak bisa menjadi yang terkuat lagi.
Mungkin suratku tidak
bisa sepuitis surat yang aku tulis untuk seseorang yang aku cintai.
Mungkin juga aku tidak
cukup pandai memilih diksi yang tepat dan hangat.
Namun, ini lah yang
paling memiliki jujur dan kasih sayang.
Terima kasih
@ladangsandiwara sudah mengajak aku untuk membuat surat ini. Cepat atau lambat
aku akan memberikannya kepada mereka, sebelum sesal datang berkunjung.
Semoga rindumu bisa
segera kamu lukiskan untuk mereka. Salam untuk mereka yang kamu rindukan..
-Putri tunggal yang gengsi
No comments:
Post a Comment