Jika pada akhir waktu, rasa hati tidak aku ungkapkan, aku akan tetap berusaha membuatnya hidup dalam tulisan-tulisanku.

Friday, April 25, 2014

Surat untuk Ibu dan Bapak

Selamat membaca, kamu yang sedang ingin melukis rindu di atas kanvas bernama ‘pelukan’.


Adalah awal yang paling membingungkan membuat surat apalagi puisi untuk kalian, Bu, Pak.

Aku, putri tunggal kalian terlalu banyak memikul gengsi untuk memeluk kalian, dari pelukan  yang berwujud deretan puisi sampai pelukan yang nyata.

Bukan, bukannya aku malas untuk merangkai satu per satu kata untuk menguraikan sosok kalian.

Bukan pula aku yang tidak memiliki waktu untuk menggenggam pensil dan menulisnya di dalam buku biru muda puisiku.

Aku terlena oleh cinta-cinta lain yang sebenarnya semu.

Yang sebenarnya tidak tepat untuk aku memujanya begitu dalam.

Yang aku jadikan inspirasi untuk menulis surat atau puisi cinta.

Yang menguras imajinasiku dan menempati banyak sudut di kalam hati ini.



Benar, Bu, Pak.

Aku tidak sadar bahwa begitu dekatnya jarak kita, begitu banyak waktu yang kita miliki, begitu banyak topik hangat untuk kita bicarakan yang seharusnya bisa kita lahap dengan rakus, habis.

Mungkin Ibu yang terlalu gemar berkomentar dan menyalahkan apapun yang aku kerjakan.

Mungkin Bapak yang terlalu acuh dengan apa yang aku perjuangkan selama ini.

Aku yang tidak cukup berusaha menggantungkan bingkai bahagia di hati kalian dan bersyukur memiliki kalian. 


Aku melewati banyak sekali detik dan detak yang seharusnya bisa aku curi untuk membahagiakan kalian.

Sejak Ibu yang masih memiliki pipi tembam dan kencang, hingga kini yang sudah berubah menjadi sedikit keriput.

Sejak Bapak yang selalu menjadi orang terkuat di keluarga kecil ini, hingga kini telah menjadi yang terlemah di antara kita.


Hal yang tidak kalian ketahui dan yang akan membuat kalian sakit adalah bahwa aku pernah memiliki rasa iri kepada keluarga lain, Bu, Pak.

Ada beberapa hal yang mungkin tidak aku dapatkan dari kalian, yang membuatku seperti nelangsa tidak memilikinya.

Tapi mungkin harusnya aku menampar diriku sendiri atau bahkan melemparkan cermin ke arahku sendiri, hingga kepingan cermin itu menyobek naluriku agar diriku sadar.

Kalian selalu berusaha, menyakiti diri kalian, hingga mempertaruhkan hidup hanya untuk memenuhi kotak bahagia yang aku miliki, hanya milikku, bukan milik kalian.

Kalian selalu mengeja namaku setiap kalian berhadapan dengan Yang Mahacinta, nama yang diiringi doa paling tulus di seluruh semesta ini.

Kalian selalu menikmati sendiri luka yang aku ciptakan, mengabaikannya, melupakannya, dan menyayangiku lagi seperti biasanya.

Jauh seperti aku yang terkadang begitu lama memiliki keluh hingga tega menyakiti sumber cinta tulus milik kalian, hati kalian.


Maafkan aku, Bu, Pak.

Maafkan aku putri tunggal kalian, Bu, Pak.

Maafkan aku, anak kalian masih jauh dari kata baik untuk kalian, Bu, Pak.


Sekarang, mungkin saatnya untuk aku menunjukkan kepada banyak orang bahwa aku berterima kasih, menunjukkan cinta dan sayangku kepada kalian, yang sebenarnya begitu besar dan dalam.

Terima kasih untuk Ibu yang tidak pernah lelah menegurku, mencintaiku dengan amarah, dan yang selalu mengkhawatirkanku. Semoga Ibu selalu bersayapkan kekuatan untuk mengurusi suami dan anakmu.

Terima kasih untuk Bapak yang tidak pernah lelah mencari bekal bahagia keluarga kecil kita dan untuk kepercayaan yang bapak berikan, yang tidak diberikan ke putri tunggal lainnya. Semoga Bapak bisa menjadi yang terkuat lagi.


Mungkin suratku tidak bisa sepuitis surat yang aku tulis untuk seseorang yang aku cintai.

Mungkin juga aku tidak cukup pandai memilih diksi yang tepat dan hangat.

Namun, ini lah yang paling memiliki jujur dan kasih sayang.


Terima kasih @ladangsandiwara sudah mengajak aku untuk membuat surat ini. Cepat atau lambat aku akan memberikannya kepada mereka, sebelum sesal datang berkunjung.


Semoga rindumu bisa segera kamu lukiskan untuk mereka. Salam untuk mereka yang kamu rindukan..


-Putri tunggal yang gengsi

No comments:

Post a Comment